Sudah lama aku berada dalam lingkaran pertemanan dengan latar belakang kebudayaan Asia Selatan, terutama India, Bangladesh, dan Nepal. Aku tertarik dengan kebudayaan mereka. Hari-hari yang kulalui bersama mereka adalah hari-hari yang tak luput dari pengamatan. Sambil belajar bahasa dan mengenali budaya, aku mengamati gerak bibir dan bahasa tubuh, mendengarkan ragam dialek, dan mengamati kebiasaan mereka terhadap sesuatu. Aku selalu tertarik mempelajari sejarah, manusia, dan ragam budaya.
Aku punya satu keinginan yang selalu kuulang-ulang pada salah satu dari mereka, Kanis, yang menjadi sahabatku, bahwa aku ingin sekali memakai Sari.
Aku punya satu keinginan yang selalu kuulang-ulang pada salah satu dari mereka, Kanis, yang menjadi sahabatku, bahwa aku ingin sekali memakai Sari.
***
“Assalammu’aikum. My name is Kanis Fatema. I come from Bangladesh.”
Aku menyambut hangat jabat tanganmu. Menyebut nama dan juga asalku, sebagaimana kamu. Lalu kupeluk dirimu. Sebagaimana kebiasaanku ketika di Indonesia saat bertemu saudari sesama Muslim. Kau terlihat jengah awalnya, namun kemudian balas memelukku.
Ternyata, kita satu kelas di kelas Psychiatric.
Kau katakan bahwa kau senang melihat caraku dan teman-teman Indonesia-ku berpakaian. Sangat Muslim sekali. Pakai jilbab, dipentul sehingga tidak terlihat celah yang menampakkan rambut dan tak terjatuh ke bahu sebagaimana saat kau dan teman-teman Banglasdeh-India-mu memakai Dupatta.
Aku katakan padamu, kau dan teman-temanmu terlihat cantik sekali saat kalian mengenakan Sarimerah di sebuah acara. Ya, kalian hanya mengenakannya pada saat-saat tertentu saja, pada sebuah party misalnya. Aku tahu, memakai Sari terlihat sangat merepotkan. Dengan kain sepanjang kurang lebih enam meter melilit di tubuh, aku membayangkan tubuhmu dibedong seperti bayi. Tetapi di sinilah letaknya keindahan sebuah budaya yang dibalut oleh nilai-nilai seni dan kreatifitas.
“Kanis, I love to see you all wearing Sari. Aku sudah pernah melihat perempuan India memakai Sari. Kau tahu, lewat film, hahaa. Tetapi, ketika aku melihat kalian mengenakan Sari malam ini, seolah-olah inilah untuk pertama kalinya aku melihat perempuan mengenakan Sari. Indah sekali!”
“Kau suka?”
“Tentu saja.”
“Kalau kau suka, kau boleh memakainya kapan-kapan.”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Kau kan sahabatku. Nanti saat semester break, aku kembali ke Bangladesh, aku akan membelikanmu pakaian khas Bangladesh.”
***
“Apakah semua orang Indonesia berpakaian sepertimu dan teman-temanmu?”
“Tidak, kebetulan saja, teman-teman Indonesia-ku berpakaian sepertiku. Tetapi kalau di Indonesia, kami beragam. Yeaah, kau tahu, dalam Islam kita mengenal hidayah.”
“Apakah mereka yang tidak memakai jilbab sepertimu, yeah seperti kami, itu berarti tidak mendapat hidayah?”
“Hmm…tidak juga. Setiap bangsa memiliki caranya tersendiri dalam mengaplikasikan Islam. Aku dengan jilbabmu dan kau dengan Dupatta-mu.”
Di tahun kedua, kau khusus memesan sebuah mukena dari Indonesia. Untuk ibumu, katamu. Suamiku membelikannya untukmu.
“Aku lihat, cara kalian salat adalah cara yang indah sekali.”
Mukena mungkin sesuatu yang asing buatmu. Kalian terbiasa dengan pakaian sehari-hari saja saat beribadah; dengan dupatta yang kau taruh di kepala, dengan kaki telanjang tanpa memakai kaus kaki, dan dengan lengan Salwar Khamiz yang bahkan tidak menutup semua lenganmu. Terlihat aneh olehku, sebagaimana kau yang mungkin melihat aneh caraku beribadah. Tetapi beginilah kita saling menghargai perbedaan, bahkan meski kita sesama Muslim.
Tuhan menyayangimu saudariku. Suatu hari, kau datang ke kelas dengan penampilan berbeda. Kau tetap memakai Salwar Khamiz-mu, tetapi kali itu dengan Dupattamenutupi seluruh rambutmu dengan sematan peniti di bawah dagu yang nyaris sebesar jari kelingking. Aku mengucapkan selamat sambil tersenyum kecil melihat penitimu.
“Ajari aku memakai jilbab sepertimu. Memakai pentul dan dalamannya.”
“Baik. Tapi imbalannya, ajari aku memakai Sari, ya.”
***
Aku memilih Sari berwarna Jingga (orange) dengan pinggiran berwarna merah. Untuk dalamannya, tersedia dua bagian berwarna merah. Ternyata, cukup hanya tiga bagian ini saja. Kanis dan seorang teman bernama Afroza Banu membantuku memakai Sari.
1. Kain Sari sepanjang 6 (enam) meter
1. Kain Sari sepanjang 6 (enam) meter
2. Blus pendek warna merah. Blus ini agak kedodoran di tubuhku karena aku yang kurus kering seperti emping :D Afroza bilang, mengenakan blus ini mestilah ketat dan menempel di tubuh. Blusnya sendiri berlengan pendek dan biasanya hanya sampai beberapa sentimeter di bawah (maaf) payudara
3. Rok warna merah, sebenarnya hanya rok biasa, hanya saja berfungsi sebagai bagian dalaman, karena biasanya kain Sari tidak cukup tebal menutupi bayangan tubuh di bagian bawah. Mereka menyebutnya Pettikot.
Maka, dimulailah tutorial memakai Sari ini :D
1. Aku memakai legging dan baju manset warna hitam. Seperti biasa, jika memakai rok, aku selalu memakai legging, meskipun sehabis memakai rok, aku akan pakai Sari lagi. Blus ini dominannya berlengan pendek, ketat di badan, ketat di bagian lengan, dan… bolong di belakang *Sundel Bolong mode on* Yeah, seperti yang kau lihat di film-film India. Perut terbuka, punggung juga terbuka. Oleh sebab itu aku memakai baju manset. Temanku, Afroza Banu, memintaku untuk memakai manset tangan saja, nanti pada bagian baju yang terbuka di bagian perut dan bagian belakang tubuhku akan ditutup dengan Sari. Dia bilang, kalau aku pakai manset baju, itu seperti aku tidak pakai Sari saja. Tetapi aku minta maaf, aku harus memakai manset baju, aku tidak yakin dengan bagian belakang tubuhku akan tertutup sempurna oleh Sari. Aku takut ketika aku lengah lalu tampaklah bagian tubuhku. Apalagi Sari pilihanku terbuat dari jenis kain yang tipis, semakin membuat aku tidak yakin. Akhirnya dia mengerti.
2. Afroza mengikat bagian ujung kain Sari di pinggangku–seperti memakai sarung–dengan menyisakan bagian kain beberapa meter.
3. Satu meter disisakan di bagian depan untuk dibentuk menjadi opnaisel (lipit-lipit) besar, lalu bagian atas lipit tersebut dimasukkan ke kain terlilit di pinggang tadi.
4. Sisanya dibawa ke belakang, lalu dibawa lagi ke depan melalui lengan kanan bawah, dan terakhir sisanya diselempangkan di bahu kiri.
5. Selesai
Maaf ya, foto tutorialnya buram, jadi cuma ada satu foto saja :D
Dan inilah hasilnya. Begitu selesai, aku langsung selfie di depan kaca besar. Untung ada kaca yang besar sekali itu, jadi aku bisa selfie dengan memperlihatkan seluruh tubuhku seperti ini. Aku sengaja selfie di depan kaca, rugi ya kalau selfie hanya tampak muka semntara sudah dandan cantik begini.
Bagaimana penampakanku dalam balutan Sari? Apakah aku terlihat keren? Apakah aku sudah terlihat seperti orang India?
Dan, mari kuperkenalkan mysmartfren, Kanis.
![]() |
Selfie depan kaca dengan Kanis |
Mari kuperkenalkan juga teman-temanku yang lain.
![]() |
Serasa sedang di Bangladesh |
Sehabis narsis dengan Sari, tidak lengkap rasanya kalau belum upload ke medsos. Lumayan bikin heboh, hahahaaaaa….
Pakai Sari sudah, selfie juga sudah, lalu diakhiri dengan joget India, tetapi pakai lagu Selfie :v
Well, ini cerita selfie-ku, mana cerita selfie-mu?